baca
"Baca.."
Gggggrrrrrrrggggbbrrrr !!!!!! suara
petir seolah memecah keheningan desa. Langit menumpahkan airnya tidak terkira
seperti sedang marah. Tanah pun basah dan becek. Pohon-pohon ikut basah, terayun-ayun
oleh angin yang juga ikut mengiringi suara hujan yang begitu deras. Penduduk
pun enggan keluar, memilih untuk tidur di bawah hangatnya dekapan selimut.
“Budi, Wawan, sudah selesaikan PR
kalian ? kalau sudah, kemari sini bersama Bapak. Jangan ganggu ibumu. Ia sedang
menyiapkan makan untuk nanti malam. Nah, kemari sini duduk”.
Seorang bapak sekitar 50 tahunan
duduk di ruang tamu sambil memegang sebuah buku usang, memanggil anak-anaknya yang
baru saja menyelesaikan PR. Laki-laki itu biasa dipanggil penduduk kampung
dengan nama Pak Pardi. Ia seorang petani yang sangat tekun dan ramah. Tidak
pernah rasanya pak Pardi terlihat bermuka masam. Setiap pagi pak Pardi membantu
istrinya membersihkan pekarangan rumah, menyiram kebun di belakang rumah dan
membimbing anak-anaknya belajar. Sedangkan istrinya, ibu Nur biasanya
menyiapkan sarapan. Budi dan Wawan adalah kedua anak laki-laki pak Pardi,
setiap paginya menimba sumur untuk memasak, mandi dan menyiram tanaman. Pak
Pardi selalu mengajarkan disiplin, bersih, rapi dan tekun kepada anak-anaknya.
Oleh karena itu, rumah pak Pardi terlihat sangat asri dan nyaman. Meskipun
rumahnya termasuk sangat sederhana.
“bapak sedang apa ? mengapa duduk sendiri di ruang
tamu ?”, tanya Budi seraya duduk di samping bapaknya.
“tidak ada, bapak hanya membaca
saja. Tadi PR apa yang kalian kerjakan ?”, tanya pak Pardi kembali.
“PR matematika pak. Sungguh sulit
pak. Membuat pusing kepala saja!”, jawab Wawan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kalau kamu Bud, tadi mengerjakan PR
apa ? matematika juga ?”.
“kalau saya tidak mengerjakan PR
pak. Saya hanya mengulang pelajaran yang diajarkan ibu guru di sekolah tadi. Sejarah
kemerdekaan Indonesia pak”, jawab Budi.
Pak Pardi pun melepas kacamatanya
dan duduk bersandar di kursi kayu yang sudah tua dan berkata, “itulah nikmatnya
mempelajari suatu ilmu nak. Matematika memang membuat kita pusing. Bapak saja
dulu ketika masih sekolah seperti kalian berdua, sulit sekali bapak mengerti
rumus matematika. Bapak ingat ada kawan sekolah bapak. Namanya Hasan. Ia salah
satu siswa yang sangat pandai. Selalu mendapat nilai seratus di mata pelajaran matematika.
Sampai-sampai bapak dan teman kelas yang lain, heran melihat dia begitu cepat
mengerjakan soal-soal itu. Bapak bertanya dia makan apa saja hingga menjadi
pandai. Tapi ia menjawab kalau makan seperti biasanya, tempe, tahu dan sayur.
Sama lah dengan bapak dan kawan-kawan”,
“terus pak terus ?? mengapa ia
sepandai itu ??”, tanya Wawan begitu penasaran.
“hahaha, begini nak. Setelah
mendengar jawaban Hasan, bapak pun termenung dan berpikir. Mengapa bapak tidak
bisa seperti Hasan ? padahal bapak pun makan dengan lauk yang sama dengan
Hasan. Tempe, tahu, sayur merupakan makanan sehari-hari. Tapi apa yang salah ?
hingga esok harinya, ketika bapak berangkat pagi-pagi ke sekolah, Hasan sudah
lebih dulu tiba di sekolah. Ia mengerjakan soal-soal di papan tulis dan
menghafalkan rumus-rumus dengan tekun setiap paginya. Bapak pun bertanya,
mengapa sepagi itu sudah tiba di sekolah dan belajar. Hasan pun menjawab, kalau
setiap pulang sekolah, ia harus membantu ibunya berjualan di pasar. Kemudian
membersihkan rumah serta menolong ibunya membuat kue hingga malam. Akibatnya ia
tertidur karena kelelahan dan tidak bisa belajar. Oleh karena itu ia datang
pagi-pagi dan belajar dengan tekun agar bisa mengejar pelajaran dan tugas yang
tertinggal. Ia tekun dan tidak takut salah. Keberanian dan ketekunan adalah
kunci untuk memahami pelajaran katanya. Karena ilmu harus tetap diamalkan
dengan cara langsung dipraktikan. Dari sanalah akhirnya bapak paham, padahal
dengan waktu yang sedikit namun jika kita hargai maka akan berkah dan
bermanfaat. Itu yang selama ini membuat Hasan menjadi yang terbaik di kelas,
perjuangan”, jawab pak Hasan panjang lebar.
“waaaahh hebat sekali teman bapak
itu. Bisa memanfaatkan waktu ! ckckck...”, jawab Budi sambil menggeleng-geleng
kagum.
“iya pak, kok hebat sekali ya. Waah
Wawan jadi malu pak. Belum pandai seperti Hasan itu”, jawab Wawan sambil
tersenyum malu.
“naah, oleh karena itu kalian berdua
harus belajar dengan rajin. Jangan hanya main bola, bertengkar dan ribut
sendiri. Contoh kawan bapakmu ini. Dia bisa pandai karena bisa memanfaatkan
waktu, paham kalian berdua ?”, jawab ibu tiba-tiba dari dalam. Budi dan Wawan
hanya bisa tersenyum dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“sekarang ayo makan dulu. Setelah
itu kalian ambil wudhu lalu sholat isya. Nanti mengaji kemudian tidur. Besok
kalian berdua harus berangkat ke sekolah pagi-pagi. Ayo lekas..”, ajak pak
Pardi dan istrinya.
***
Budi adalah anak pertama pak Pardi
dan ibu Nur. Ia sekarang duduk di kelas 6 SD. Selalu bangun tepat pukul 5 pagi,
kemudian sholat subuh dan belajar sejenak. Pukul 6 ia sudah menimba air di
sumur dan bergegas mandi. Budi termasuk anak yang pandai dan sopan. Ia selalu
menaati perintah kedua orangtua. Membaca adalah kegemarannya, setiap hari
sepulang sekolah ada saja yang ia baca. Koran, majalah, buku pelajaran,
semuanya ia baca. Bahkan buku-buku perpustakaan sekolah selalu ia pinjam dan
kembalikan tepat waktu.
Begitu pun dengan Wawan. Ia anak
kedua pak Pardi. Pandai dan sopan pula. Namun dibandingkan Budi yang gemar
membaca, justru ia lebih tertarik dengan dunia olahraga. Setiap sore bermain
bola di tanah lapang bersama kawan-kawan kampung.
Aroma masakan ibu sudah tercium dari
dalam dapur. Budi ketika itu sedang duduk sambil membaca koran. Sedangkan Wawan
sedang berkaca menyisir rambutnya yang tebal dan berombak. Bapak sudah duduk di
samping Budi menunggu hidangan sarapan datang.
“apa yang kau baca nak ?”, tanya pak
Pardi.
“oh, ini pak. Saya sedang membaca
koran. Berita tentang pendidikan. Seorang anak SMP tunanetra berhasil meraih
juara 1 lomba mengarang tingkat nasional. Karangan yang ia buat sangat
inspiratif. Bahkan di sini juga dijelaskan bagaimana ia bisa meraih juara 1
pak. Sungguh saya kagum. Budi juga ingin berprestasi seperti anak ini pak”,
sahut Budi dengan mata berbinar-binar.
“kamu suka membaca nak ? suka
menulis juga ?”, tanya pak Pardi.
“sangat suka pak. Saya sangat suka
membaca. Menulis juga saya suka. Hanya saja kalau disuruh memilih paling suka
yang mana, saya memilih membaca pak”, jawab Budi sambil tertawa malu.
“hhmmm, bagus nak. Tapi kalau boleh
bapak tau, mengapa kau suka sekali membaca nak ?”, tanya pak Pardi lagi.
“mmmm saya suka membaca karena saya
mendapat banyak ilmu pak. Misalnya saja ketika saya membaca sejarah kemerdekaan
Indonesia, saya jadi paham bagaimana semangat dan perjuangan pemuda bangsa
untuk meyakinkan Soekarno dan Hatta untuk menyatakan diri bahwa Indonesia
merdeka pak. Membaca juga membuat saya terhibur. Ketika membaca cerita kancil
dan buaya, saya jadi tertawa dan kagum juga dengan si kancil. Cerdik !”, jawab
Budi.
Pak Pardi pun terkekeh dan menjawab,
“benar kau Budi. Membaca memang membuat kita pandai, karena dengan membaca kita
mendapat ilmu pengetahuan. Kata orang, membaca adalah jendela ilmu. Ibaratnya
buku itu adalah jendela agar kita bisa melihat dunia luar. Kau tau bung Hatta
Budi ? kau tau ia sangat cinta dengan buku ? setiap hari ia membaca banyak
buku. Tiada hari tanpa membaca. Sampai pada akhirnya beliau di asingkan, ia
tetap membawa bukunya. Bung Hatta adalah tokoh bangsa yang mengajarkan kita
untuk gemar membaca dan menghargai ilmu pengetahuan. Kau harus contoh ya”.
Budi pun mengangguk dan bertanya
lagi, “bapak, setiap hari bapak selalu menceritakan kami kisah teladan. Bahkan
bapak juga sering menceritakan kami sejarah bangsa Indonesia. Kenapa bapak bisa
tau ? bukankah bapak dulu hanya tamat sekolah rakyat ?”.
“hahaha nanti bapak ceritakan. Ada
banyak hal yang harus kau tau Budi, agar kau bisa menghargai waktu yang
diberikan Tuhan. Sekarang ayo sarapan. Bapak sebentar lagi ke sawah. Itu ibumu
sudah siap. Nanti sore bapak ceritakan. Kau ikut dengan bapak ke kebun nanti ya”.
Jawab pak Pardi sambil mengusap kepala Budi. Budi pun hanya tersenyum dan
mengangguk senang.
***
Pagi itu di sekolah, Budi bertugas
membersihkan kelas. Ia mendapat piket pada hari senin. Sebelum upacara bendera
dimulai, kelas sudah harus bersih. Tidak boleh ada sampah di kelas dan juga di
bangku. Papan tulis harus bersih dan rapi. Rak buku juga harus rapi. Setelah
semuanya bersih, Budi segera menuju lapangan sekolah untuk memimpin upacara
bendera. Suaranya yang lantang dan badannya yang tegap, tinggi, membuat ia
terlihat tangkas. Upacara bendera pun berlangsung dengan khidmat.
Usai upacara, Budi masuk kelas dan
memulai pelajaran dengan penuh semangat. Ia masih mengingat kata-kata bapaknya
bahwa waktu amatlah penting dan berharga. Perjuangan sahabatnya bernama Hasan,
membuatnya semakin terpacu untuk meraih ilmu setinggi-tingginya. Tekadnya kini
kuat, belajar setinggi-tingginya dan membuat kedua orangtuanya bangga.
Hari itu mata pelajaran pertama
adalah bahasa Indonesia. Budi ditunjuk ibu guru untuk maju ke depan membaca
sebuah cerita dongeng. Budi pun maju dan membaca dengan suara yang lantang.
Membaca memang kegemaran Budi. Oleh karena itu, setelah membaca nyaring di
depan kelas, Budi diminta mengajarkan teman-teman yang belum terlalu bisa
membaca. Ia justru sangat senang bisa membantu teman-temannya, karena baginya
itu merupakan sebuah perjuangan untuk mengamalkan ilmu yang sudah ia dapatkan.
Sepulang sekolah Budi berganti
pakaian dan mencuci tangan dan kaki sebelum makan siang bersama dengan adiknya
Wawan. Setelah makan, ia mengerjakan tugas sekolah dan bermain sebentar. Baru
kemudian ia tidur siang. Seperti yang sudah dijanjikan bapak, sorenya pergilah
Budi dan bapak ke kebun. Mereka menyiangi rumput yang mulai tinggi. Sebentar
kemudian, bapak dan Budi duduk di teras belakang rumah. “bagaimana tadi
sekolahmu ? tugas sudah kau kerjakan ?”, tanpa Bapak sembari mengelap keringat.
“sudah pak, sudah saya kerjakan.
Jadi apa kelanjutan cerita bapak tadi pagi ? saya sudah tidak sabar ingin
mendengar cerita bapak. Dari tadi di sekolah, kepikiran terus dengan cerita
bapak. Ayolah pak ceritakan sekarang..”, tanya Budi merajuk.
“kau ini, ada-ada saja Bud. Masak
sekolah malah mikir yang macam-macam. Baiklah jika memang kau sudah terlanjur
penasaran, bapak akan cerita”, jawab pak Pardi terkekeh dan mulai merapikan
duduknya sambil menghadap lurus ke depan, tercenung. “....dahulu di waktu bapak
kecil, tidak ada kami mengenal sekolah, apalagi cita-cita. Kami semua hanya
berada dalam belenggu penjajahan. Seusia bapak waktu itu, hanya bisa bekerja
dan bekerja. Karena dulu pemerintah Belanda hanya ingin melihat kami bekerja.
Bahkan untuk makan pun, rasanya hanya sekali saja saat itu. Tidak pernah kami
berpikir mau makan apa hari ini. Apa yang bisa kami makan maka itu yang kami
makan. Meskipun seadanya, tapi kami bersyukur karena masih bisa makan. Hingga
beberapa waktu kemudian, muncullah sekolah rakyat. Kakek mu dulu sangat ingin
melihat bapak sekolah. Beliau mengatakan, bahwa dengan menjadi anak pintar,
kita bisa menguasai dunia. Kita bisa menggambarkan dunia seperti apa yang kita
inginkan. Orang-orang pun akan menghargai kita. Namun yang terpenting, orang
berilmu lebih bermanfaat daripada orang yang hanya diam menunggu takdir. Begitu
kata beliau dahulu. Bapak masih memegang kata-kata kakekmu dulu sampai
sekarang. Kata-kata itulah yang bapak jadikan semangat agar bapak bisa menjadi
yang terbaik, setidaknya terbaik untuk orangtua bapak”. Pak Pardi pun diam
sejenak sambil berselonjor. Budi sudah tidak sabar menunggu kelanjutan cerita
pak Pardi.
“kemudian
bapak pun akhirnya masuk sekolah rakyat. Bukan main senangnya kakekmu dulu. Ia
selalu tersenyum setiap kali melihat bapak berangkat sekolah. Meskipun menggunakan baju seadanya, bagi kami
anak-anak dulu, pakaian bukanlah soal utama. Yang terpenting adalah ilmu yang
harus kami dapatkan sebanyak-banyaknya. Bagaimana agar bisa membaca, menghitung
dan menulis. Kami tidak ada bersepatu seperti anak-anak sekarang. Kami hanya
bermodalkan satu hal nak, yaitu tekad yang kuat untuk sekolah. Hari demi hari
berlalu, hal yang paling bapak suka adalah membaca. Bagi bapak, membaca seolah
melihat dunia berada di sekeliling bapak. Banyak hal yang bisa bapak pelajari
dari membaca. Awalnya tidak tau menjadi tau. Bapak menjadi tau seperti apa
dunia luar. Melihat gambar kapal-kapal yang besar, gedung-gedung tinggi, dan
banyak lagi lainnya. Semuanya bapak lihat dari buku. Meskipun tidak pernah
melihat secara langsung, namun bapak sangat senang.
Sepulang sekolah, kakekmu selalu bertanya
bagaimana bapak di sekolah rakyat. Senang kah
bapak di sana, serta apa saja yang sudah dipelajari. Semuanya bapak ceritakan
pada kakekmu. Bapak dulu cerewet sekali setiap bercerita tentang sekolah dan
buku-buku yang bapak sudah baca. Namun kakekmu sangat bahagia. Sampai-sampai ia
pernah menangis ketika berdoa usai sembahyang. Bapak waktu itu baru bangun
ketika kakekmu sedang sholat. Ketika terbangun, bapak mendengar beliau terisak
dan mendoakan yang terbaik untuk bapak. Ia seolah bercerita kepada Tuhan, bahwa
ia sangat bahagia melihat anak laki-lakinya bisa membaca dan menulis. Sambil
terbatuk-batuk, beliau kembali berdoa. Jujur, bapak saat itu kaget ketika mendengar
isi doa beliau. Bapak tidak pernah menyangka, bahwa sekolah, membaca, menulis
dan berhitung adalah segalanya bagi kakekmu. Begitu tinggi hasratnya ingin
melihat bapak sekolah, menjadi anak laki-laki yang pintar. Bapak menelan ludah
seraya mendongak ke atap-atap rumah, berfikir bagaimana pun caranya bapak harus
membahagiakan kakekmu.
Hingga
akhirnya bapak bertekad untuk menjadi yang terbaik, belajar dengan
sungguh-sungguh dan tidak menyia-nyiakan waktu. Setiap hari bapak tekun
belajar, membaca, menulis dan juga berhitung. Namun bapak juga tetap membantu
kakekmu bekerja. Itu adalah pekerjaan wajib yang bapak juga harus laksanakan.
Setiap hari ada saja buku-buku yang kami baca, kadang bapak bersama teman-teman
membaca dengan suara nyaring, bahkan dulu guru bapak mengajar dengan langsung
dipraktikkan. Bapak suka sekali dengan itu, membuat kita lebih cepat paham.
Dulu
belum ada istilah perlombaan, kami hanya belajar saja dan terkadang ada soal
tebakan. Bapak guru memberikan soal dan kami harus menjawab dengan cepat. Siapa
yang cepat, dia dapat. Begitu kata guru kami dulu menyemangati kami menjawab
soal. Kau tau nak ? bapak salah satu siswa yang selalu mengumpulkan nilai
karena menjawab dengan benar. Bapak senang sekali, bisa mengumpulkan nilai
dengan menjawab benar. Namun dahulu kami semua selalu senang, tidak ada yang
mencibir satu sama lain. Kami semua tidak ingin saling sikut. Benar-benar
belajar dengan baik, bermain sambil belajar. Beda dengan sekarang, ingin menang
saja harus dengan menyuap atau istilahnya memberikan uang kepada orang tertentu
agar bisa menang. Hhmmm.. semuanya berubah sekarang bud..”.
Budi
yang sejak tadi diam mendengarkan, segera bertanya lagi. “terus, bagaimana
dengan kakek pak ? beliau mengatakan apa ? pasti beliau senang sekali..”
Pak
Pardi pun tersenyum, namun kini ia terdiam cukup lama. Lalu menghembuskan nafas
panjang. “sudah tentu kakekmu sangat senang nak, ia tidak pernah berhenti
menasehati bapak agar terus semangat dan rajin belajar. Beliau ingin melihat
bapak seperti bung Hatta yang pandai dan cinta membaca. bapak semakin giat
belajar, terus dan terus belajar, membaca, tidak pernah mengeluh. Hingga
akhirnya bapak sesaat kehilangan semangat untuk belajar..”.
“loh,
ada apa pak ? kenapa tiba-tiba bapak tidak ingin belajar dan membaca lagi ?
bukankah itu kegemaran bapak ? apa yang membuat bapak tidak ingin belajar ?”,
tanya Budi tidak henti-henti.
Pak
Pardi pun memandang Budi lembut, seraya mengusap kepala Budi dan kembali
termenung. “kakekmu giat sekali bekerja. Mengangkat barang berat, berjalan
berkilo-kilo meter, membungkuk di ladang untuk mencangkul atau menanam padi,
hampir semuanya kakekmu lakukan. Tidak pernah bapak lihat ia mengeluh. Beliau
mengerjakan apa yang harus dikerjakan, apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Malamnya, beliau tidak langsung istirahat, namun mengajak bapak duduk-duduk dan
menanyakan bagaimana sekolah bapak. Sambil terbatu-batuk, beliau mendengarkan
bapak bercerita kesana kemari, serta mendengar bapak membaca.
Bapak
dulu tidak terlalu memperhatikan kakekmu. Maksud bapak, bapak kira kakekmu dulu
selalu dalam keadaan baik-baik saja. Beliau sehat-sehat saja. Tidak pernah
menunjukkan kepada bapak bahwa ia sebenarnya sakit. Hingga beberapa malam,
beliau tidak henti-hentinya batuk sambil memegang dadanya. Wajahnya semakin
hari semakin pucat. Namun ia tidak pernah bersantai atau istirahat dari
bekerjanya. Bapak selalu mengingatkan beliau untuk istirahat saja. Namun beliau
tersenyum dan mengatakan, “bapak baik-baik saja Pardi. Tenanglah, tidak ada
yang perlu kau khawatirkan. Bapak masih kuat melakukan pekerjaan ini. Lagipula,
bapak senang melakukannya”. Begitulah kata beliau, jika sudah keluar kata-kata
itu, bapak tidak bisa memaksa kakekmu untuk diam.
“terus
pak ? bagaimana dengan kakek ?? apa kakek baik-baik saja ?, tanya budi sembari
manggut-manggut.
Wajah
pak Pardi kini terlihat makin sendu. Ia sesekali menunduk dan mulai menghadap
lurus ke depan, mengingat masa lalu itu..
“suatu
hari, kakekmu pergi. Seperti biasa ia bekerja. Tidak pernah lupa menanyakan
sekolah bapak. Namun ada yang terasa berbeda, kakekmu lebih pendiam. Ia seperti
memikirkan sesuatu saja. Tapi bapak berusaha untuk diam saja. Hingga malamnya,
kami berdua duduk di teras sambil melihat langit yang dipenuhi bintang-bintang.
Beliau berkata, “pardi anakku, bapak sangat bangga padamu nak. Kau kini tumbuh
menjadi anak yang pintar, pandai membaca, menulis serta berhitung. Andaikan
ibumu di sini, ia juga tentu senang. Nak, jadilah seorang pecinta ilmu. Karena
sesungguhnya ilmu sungguhlah penting. Kita bisa melihat dunia, bisa paham
mengapa semua ini terjadi, dan yang terpenting kita bermanfaat untuk sesama.
Bapak tidak menginginkanmu untuk menjadi orang besar, namun jadilah orang yang
sederhana namun menyimpan ilmu yang tinggi. Seperti air, semakin bawah suatu
tempat, semakin banyak airnya. Tetaplah menjadi dirimu sendiri, berjuang membela
negara. Tidak peduli sengsara apapun kamu, menderita apapun kamu, atau
terlukanya hatimu, tetaplah untuk bangkit dan melakukan perubahan untuk hidup,
meskipun sedikit. Nak, maafkan bapak yang tidak bisa memberikan penghidupan
yang layak, menyekolahkanmu yang baik, bahkan tidak bisa mengajarmu ketika kau
kesulitan dalam belajar. Bapak malu nak, tidak bisa membaca setiap huruf itu.
Namun sungguh, bapak sangat ingin membaca. tapi melihat engkau pandai, bapak
bersyukur. Karena engkau tidak bodoh seperti bapak. Ingat pesan bapak nak,
jangan sia-siakan waktumu hanya dengan bermain. Isilah dengan membaca buku-buku
yang bermanfaat, agar kelak kau bisa memetik hasil dari setiap usahamu. Bapak
tidak ingin kau menjadi bodoh seperti bapak. Bapak menyayangimu..”.
Pak
Pardi tertunduk dengan mata berkaca-kaca. Namun ia tidak menampakkan itu di
hadapan Budi. Ia pun melanjutkan ceritanya.
“usai
kakekmu menyampaikan pesan itu, esoknya beliau sudah bersiap pagi-pagi sekali.
Bapak baru bangun waktu itu, bapak hanya kaget melihat beliau sudah siap
berangkat kerja. Bapak pun bertanya, mengapa sepagi ini sudah harus bekerja.
Kakekmu hanya tersenyum dan memeluk bapak begitu erat. Bapak hanya bingung saat
itu, bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Kakekmu akhirnya menyuruh bapak untuk
ikut bersamanya. Sesampainya di tempat kerja, banyak sekali mobil yang berjejer
rapi. Begitupun dengan para pekerja. Semua sudah berkumpul. Ibu-ibu yang
menggendong anak pun ikut menunggu. Bapak yang bingung, akhirnya memutuskan
bertanya kepada kakekmu.
“ini
ada apa pak ? mengapa ramai sekali ?”.
“nak,
mulai sekarang mungkin bapak tidak bisa menemanimu lagi. Kau kini tinggal
bersama ibu-ibu yang bekerja di sini. Kau nanti bisa makan dan tetap sekolah.
kau janji untuk tidak sedih, harus tetap semangat sekolah, rajin belajar”.
“bapak
mau kemana ?”..
“bapak
dan pekerja yang lain, akan pindah bekerja ke daerah yang jauh. Kami harus ikut
karena sudah perintah. Jika tidak, kita berdua akan dihukum nak. Kau tidak bisa
belajar lagi. Jadi bapak setuju untuk ikut, agar kau bisa sekolah dan belajar
dengan baik”.
“tapi
pak.. saya tidak ingin bapak pergi. Saya ingin bapak di sini. Siapa yang
menemani saya belajar ? siapa yang akan mendengarkan cerita-cerita saya pak..
bapak jangan pergi....”,
“kau
jangan khawatir nak, kau akan baik-baik saja. Ibu-ibu di sini semuanya baik.
Kau akan betah di sini. Ingat pesan bapak, kau harus berjuang. Jangan bersedih,
kejar terus ilmu yang belum kau kuasai. Bapak selalu mendoakan yang terbaik
untukmu. Kau laki-laki, harus kuat dan jangan cengeng. Kau harus kuat”.
“apakah
bapak nanti akan kembali ??”..
“inshaa
Allah.. kita nanti akan bertemu nak. Ingat nak, terus membaca..”
Maka
menjadi-jadi kesedihan bapak waktu itu Budi, bapak memeluk kakekmu sambil terus
menangis. Tidak percaya akan berpisah seperti ini. Bapak melepas kepergian
kakekmu dengan berlinang airmata. Begitu jelas wajahnya yang tersenyum sambil
melambaikan tangan kepada bapak.
“lalu,
apa yang bapak lakukan setelah itu ?”
“setiap
pagi dan sore bapak menunggu di seberang jalan, menunggu mobil pekerja yang
lewat. Hingga akhirnya bapak tidak lagi bersekolah, kakekmu tidak pernah
kembali. Hanya pesannya yang tidak pernah bapak lupakan hingga saat ini..”.
(....tidak peduli sengsara
apapun kamu, menderita apapun kamu, atau terlukanya hatimu, tetaplah untuk
bangkit dan melakukan perubahan untuk hidup, meskipun sedikit).
“pak
?”, panggil Budi yang dari tadi tertunduk mendengar cerita pak Pardi.
“iya
nak ? kenapa ?”, jawab pak Pardi heran.
“maafkan
Budi pak”, jawab budi seraya memeluk pak Pardi sambil menangis sesengukan.
“mengapa kau menangis nak ?” ,
“maafkan
Budi yang tidak pernah mendengar nasehat bapak dan ibu. Maafkan Budi yang tidak
pernah belajar dan tidak menghargai waktu. Maafkan Budi karena malas ketika
bangun ke sekolah. Budi menyesal pak, maafkan Budi. Budi ingin seperti bapak
yang sayang kepada kakek dan cinta kepada ilmu. Budi akan belajar lebih giat
pak. Budi dan Wawan akan belajar terus, meraih cita-cita”, jawab Budi sambil
terus memeluk pak Pardi. Pak Pardi pun tersenyum dan mengangkat wajah Budi
seraya berkata, “nak, kau dan Wawan sudah sangat membuat bapak dan ibu bangga.
Kalian berdua anak yang patuh dan rajin. Kalian sudah membuat bapak bangga.
Satu hal yang paling bapak syukuri, yaitu memiliki anak-anak rajin seperti
kalian. Mungkin dengan cara itu bapak juga bisa membanggakan kakekmu. Jadi
sekarang jangan menangis lagi ya. Masak laki-laki menangis”.
“bapak
juga dulu menangis ketika ditinggal kakek, hehe”, timpal Budi seraya tersenyum.
“oh iya, bapak lupa. Hahaha kalau begitu, jangan menangis lagi. Nanti ibumu
meledek kita berdua. Wawan apalagi, bisa ribut nanti di rumah”.
“terimakasih
ya pak. Budi bangga memiliki bapak yang kuat seperti bapak”.
Pak
Pardi pun tersenyum dan berkata, “tetap membaca nak..!”.
***
Komentar
Posting Komentar