Apakah Sudah Tercapai Tujuan Bangsa Ini ??

Kita semua tahu bahwa pendidikan merupakan salah satu pondasi demi terwujudnya kemajuan suatu bangsa. Karena melalui pendidikan segala bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, sejarah dan lainnya dipelajari di sini. Pendidikan juga merupakan jalan untuk menumbuhkan sikap dan pribadi yang nasionalis dan terdidik. Melalui pendidikan kemajuan suatu bangsa bisa diukur, yaitu melalui prestasi dari anak-anak bangsa dalam menemukan serta mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional. Baik dalam olimpiade, atau pun olahraga. 

Namun jika kita lihat realita saat ini, banyak kita temukan anak-anak putus sekolah, bekerja membantu orangtua daripada sekolah, mengamen di jalan-jalan, bahkan memulung. Hal ini tentunya menjadi permasalahan di negara ini. Bagaimana bisa suatu negara dikatakan maju jika dalam memelihara anak bangsa saja negara tidak bisa. Hal ini tidak terlepas dari mahalnya biaya pendidikan serta buku-buku sekolah yang memberatkan orangtua. Terlebih dengan SPP yang semakin naik. Hingga akhirnya orangtua merasa tidak mampu dan menjadikan anak putus sekolah kemudian mengikuti orangtua bekerja daripada bersekolah.

Pernahkah kita bayangkan dampak dari itu semua ? Siapa lagi yang akan melanjutkan kepemimpinan negara ini kalau bukan anak-anak bangsa. Semuanya berada di tangan generasi muda, tapi jika melihat angka putus sekolah di Indonesia dikarenakan biaya yang mahal tentu harapan negara yang mengatakan ingin mencerdaskan anak bangsa tentu sangat jauh dari tujuan. 

Melihat sistem pendidikan di negara Industri terbesar di Eropa yaitu Jerman, sepertinya perlu untuk kita contoh bagaimana pemerintah di sana memberikan keringanan kepada anak-anak bangsa dalam menempuh pendidikannya. Di Jerman terdapat beberapa jenjang sekolah, yaitu Kinder Garten atau setara dengan Taman Kanak-kanak di Indonesia. Kemudian Grundschuleatau setara dengan Sekolah Dasar. Ada juga Hauptschule, Realschule, Gesamtschule, Gymnasium dan Universität. 

Kinder Garten atau Taman Kanak-kanak dimulai dengan usia 4-5 tahun. Pada saat anak memasuki hari pertama sekolah, di Jerman diadakan pemberian bingkisan kepada anak yang akan bersekolah. Bentuknya berupa permen besar yang berisikan buku dan peralatan sekolah lainnya. Bingkisan ini disebut dengan Shultüte. Ini bertujuan untuk memotivasi anak agar merasa senang dan tidak takut ketika menghadapi hari pertama sekolah. Berbeda dengan Indonesia, sering kita jumpai banyak anak-anak di hari pertama sekolahnya justru menangis karena takut, tidak mau berpisah dengan ibunya, bahkan tidak ingin masuk ke dalam kelas. Kita bisa melihat, sangat kontras wajah pendidikan dan mental pendidikan kita dengan negara Jerman. 

Kemudian ketika memasuki SMP atau SMA kebanyakansekolah Indonesia menerapkan sistem penerimaan siswa baru dengan menggunakan NEM berdasarkan hasil UN. Di samping itu juga menggunakan tes umum yang sebenarnya tidak cukup menunjukkan kemampuan dan bakat anak dalam memilih jurusan yang ia inginkan. Berbeda dengan di Jerman, lebih menitikberatkan siswa untuk memilih kejuruan. Karena di sana siswa bisa langsung magang kerja dan tidak perlu khawatir untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga hasilnya banyak dilahirkan anak-anak yang ahli dalam bidangnya masing-masing dan fokus pada bidang yang ditempuh. Kalau pun seorang siswa ingin memasuki sekolah umum, siswa terlebih dahulu dilihat nilainya. Apakah mampu untuk melanjutkan ke jenjang Hauptschule, Realschuleatau Gymnasium. Jika nilai siswa tidak mencukupi untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi, maka siswa harus tinggal kelas, bahkan jika seorang siswa sudah berada di jenjang atas namun nilainya tiba-tiba turun maka siswa tersebut harus turun kelas. 

Tentu dalam proses penilaian sangat diperhatikan. Jika di Indonesia nilai siswa ditentukan dari hasil ujian akhir dan diproses oleh guru, berbeda dengan sistem penilaian di Jerman. Dalam proses penilaiannya, diadakan konferensi guru dan wali murid serta perwakilan siswa. Di dalam kongres tersebut guru akan menyampaikan daftar penilaian siswa. Di samping itu guru juga akan mengetahui kegiatan siswa berdasarkan informasi orangtua dan teman sekelasnya. Sehinggatidak terjadi kesalahan dalam pemberian nilai oleh guru. Cara ini juga merupakan sistem yang transparan. Wali murid bisa mengetahui kegiatan anak selama di sekolah, begitu pun dengan pihak guru bisa mengetahui aktivitas siswa di luar sekolah. 

Dalam hal pembiayaan, pemerintah Jerman sangat memperhatikan hal itu. Pembiayaan disesuaikan dengan pendapatan orangtua. Biaya sekolah juga dapat dijangkau oleh masyarakat Jerman. Mungkin hampir sama dengan di Indonesia, hanya saja di Indonesia orangtua lebih dibebankan kepada biaya diluar dari biaya pokok yang sudah diberikan pemerintah. Orangtua harus membayar buku-buku sekolah, SPP, baju seragam dan banyak lagi dana tidak terduga yang dikeluarkan sekolah. 

Jika kita lihat keduanya, antara pendidikan di Indonesia dan Jerman tentu sangat berbeda. Perlu adanya perbaikan dan perhatian yang penuh kepada anak-anak bangsa Indonesia. Jika tidak diperhatikan, akan semakin banyak anak-anak bangsa yang akan putus sekolah dan tidak terampil terhadap suatu bidang. Jika ini terus terjadi, maka bangsa Indonesia menjadi rapuh dan tidak akan mampu bersaing dalam menghadapi arus globalisasi yang semakin deras. Sudah saatnya kita bangun dan sama-sama bekerjasama dalam membangun bangsa. Jangan sampai generasi penerus bangsa ini menjadi bodoh dan tidak produktif. Karena merekalah nanti yang akan melanjutkan kemudi bangsa ini. Kita harus bisa mencapai tujuan negara ini,  yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Disiplin dari Negara Jerman

Affandi, Lukisan dan Unsur Kemanusiaan

dalam diam mu..